Kamis, 29 Desember 2011

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA (MBI-013)


LAPORAN PRAKTIKUM
GENETIKA (MBI-013)
Paraf:
Nama: NURUL BADRIAH
Nilai:

Hari/tanggal percobaan: Sabtu / 27 November 2010
Kelompok: 3 (Tiga)
PERCOBAAN VIII

Judul: EKSTRAKSI DNA, POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN ELEKTROFORESIS GEL
Tujuan: · Mengetahui proses preparasi sampel, penggunaan PCR, proses preparasi gel dan penggunaan elektroforesis gel.

Analisis dan Pembahasan:
Ekstraksi DNA adalah langkah pertama yang sangat penting dalam langkah-langkah kerja analisis DNA sequencing. Kualitas secara keseluruhan, akurasi dan panjang pembacaan urutan basa DNA dapat dipengaruhi secara signifikan oleh karakter sample itu sendiri, dan metode yang dipakai untuk ekstraksi DNA. Mengisolasi DNA dengan kualitas tinggi dari berbagai jenis sample memiliki tantangan tersendiri, dan metode yang ideal akan beragam bergantung pada jenis jaringan/tissue (termasuk darah), bagaimana ia diperoleh dari sumbernya, dan bagaimana sample ditangani atau disimpan sebelum diekstrak. Metode untuk isolasi asam nukleat sering dikerjakan menggunakan penghancuran mekanik atau metode kimiawi, yang kadang-kadang juga terotomatisasi. Baik metode ekstraksi manual maupun otomatis yang digunakan, kita harus berhati-hati untuk meminimalisir degradasi DNA, dengan menghindari ekspos terhadap panas, cahaya, freeze-thaw yang berulang-ulang dan vortex. Selanjutnya, laboratorium harus diatur sedemikian rupa untuk meminimalisir kemungkinan kontaminasi silang diantara sample (Sutomo, 2002).
            Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus:
1.      Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
  1. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3.      Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polimerase. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial (Prasetyoputri, 2005).  
Elektroforesis gel merupakan suatu teknik analisis penting dan sangat sering dipakai dalam bidang biokimia dan biologi molekular. Secara prinsip, teknik ini mirip dengan kromatografi: memisahkan campuran bahan-bahan berdasarkan perbedaan sifatnya. Dalam elektroforesis gel, pemisahan dilakukan terhadap campuran bahan dengan muatan listrik yang berbeda-beda (menggunakan prinsip dalam elektroforesis) (Jusuf, 2001).
Pada percobaan ini menjelaskan tentang tahapan dalam ekstraksi DNA yang menyebabkan serangkaian reagen dan enzim yang memungkinkan DNA terpisah dari sel. Hasil dari ekstraksi DNA digunakan untuk PCR (Polymerase Chain Reaktion) tahapan ini digunakan untuk mengetahui banyaknya jumlah DNA yang dapat tersalin dalam penurunan keturunan. Dalam proses in juga terjadinya denaturasi, pelekatan dan polimerasi. Satu-satu menjelaskan denaturasi adalah pembagian DNA dari rantai ganda menjadi rantai tunggal yang dilakukan menggunakan siklus suhu, saat polimerasi, primer melekat pada rangkain DNA tunggal pada setiap ujungnya suhu menjadi turun, sehingga pada saat itu juga terjadinya pemanjangan DNA sehingga suhu menjadi naik.

Tahap-tahap kerja:
Macam Percobaan
Perlakuan
Hasil
Ekstraksi DNA
·         Tes genetik (Kekerabatan)
  • Identifikasi tubuh
  • Memecahkan sel
·         Mengambil sampel
1.      Mengambil sampel
Memecahkan sel, memisahkan DNA, mengkosentrasikan DNA.
Sampel dimasukan kedalam tabung evenlook + larutan lisis diinkubasi.
2.      Hasil perlakuan 1 + larutan buffer + larutan garam disentrifius + larutan alkohol isotrofil di kocok  disentrifius.
  1. Menjadi larutan intergel, Sel pecah dan DNA keluar dari dalam sel, dan DNA terpisah.
  2. Terjadi penguapan, kotoran pada DNA mengambang, semua protein mengendap (pellet) 
  3. DNA akan terkosentrasi
  4. Adanya benang-benang
5.      DNA terdapat di pellet.

PCR (Polymerase Chain Reaction)

  1. Hasil ekstraksi DNA dimasukan kedalam tabung 20 mikron (1 ½ ml)/ 20 mikron + DNTP + enzim polimergel + MgCl2 dimaskan kedalam pengsiklus suhu
  2. Terlibatnya enzim
  1. Terdenaturasi pada suhu 950C
  2. Terjadi penurunan suhu saat terjadi denaturasi
  3. Saat primer melekat polimerasi suhu naik 750C
4.      Terjadi hingga 30 siklus > 100 juta segmen pasangan DNA
Gel Elekroforesis
·         Untuk memeisahkan potongan DNA berdasarkan DNAnya
1.      Membuat agar
Tabung erlenmeyer di masukan larutan buffer 100 ml di microwave beberapa saat di masukan kedalam cetakan di pasang sisir pada salah satu ujung cetakan untuk membuat sumur ditunggu sampai larutan agarnya mengeras angkat sisir.
  1. Dimasukan lodingbuaffer pada salah satu ujung sumur, dimasukan sampel pada sumur samping loding buafer.
  2. Di cuci dengan etium bromida. Pada setiap ujung dihubungkan aliran listrik. Di diamkan selama 1 ½ jam
  1. Terjadinya pemadatan pada larutan buffer menjadi agar.
  2. DNA yang di inginkan akan terwarnai.
  3. Dapat dilihat banyaknya jumlah DNA yang diinginkan.

Reagen-reagen yang digunakan dalam isolasi DNA adalah larutan lysis yang mengandung 2 komponen penting (larutan detergen dan enzim proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan protein), larutan buffer yang berfungsi untuk memisahkan DNA dari protein, dan alkohol (isopropil alkohol) yang berfungsi untuk mengkonsentrasi larutan.
Reagen-reagen yang dibutuhkan dalam PCR adalah larutan buffer yang berfungsi untuk memindahkan DNA dari protein dan MgCl2 yang berfungsi untuk pewarnaan.
Pada elektroforesis gel, alat dan bahan yang digunakan adalah agarose, erlenmeyer, cetakan DNA, sisir gel, buffer (untuk membuat sumur), pemanas, etidium bromida, sumur, sinar UV, loading buffer, DNA sampel dan DNA standar.
Penentuan suhu dalam PCR diperlukan untuk menghentikan reaksi enzimatik dan memisahkan DNA rantai ganda menjadi rantai tunggal.

Kesimpulan :
Dari percobaan yang telah dilakukan dan pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ekstraksi DNA adalah langkah pertama yang sangat penting dalam langkah-langkah kerja analisis DNA sequencing.
2.      PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap.
3.      Tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus:
·         Tahap peleburan (melting) atau denaturasi.
·         Tahap penempelan atau annealing.
·         Tahap pemanjangan atau elongasi.
4.      Elektroforesis gel merupakan suatu teknik analisis penting dan sangat sering dipakai dalam bidang biokimia dan biologi molekular.


Daftar Pustaka:
Jusuf, Muhammad, 2001, Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen, IPB, Bandung.
Prasetyoputri, Anggia, 2005, Bengkel Ilmu Genetik oleh Martin Brookes, Erlangga, Jakarta.
Sutomo,  Juanda, 2002, Genetika Lanjutan Universitas. Erlangga. Jakarta.












Makalah Entomologi


ENTOMOLOGI FORENSIK



OLEH
NURUL BADRIAH
(0908104010018)














JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Serangga termasuk filum Arthropoda yaitu kelompok hewan yang mempunyai kaki berruas-ruas, tubuh bilateral simetris dan dilapisi oleh kutikula yang keras (exosceleton). Serangga digolongkan dalam kelas insecta (hexapoda), karena memiliki 6 buah (3 pasang) kaki yang terdapat di daerah dada (thorax). Jumlah kaki menjadi ciri khas serangga yang membedakannya dengan hewan lain dalam phylum Arthropoda seperti laba-laba (arachnida), kepiting (decapoda), udang (crustacea), lipan dan luwing (myriapoda),
Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kira-kira 2 - 3 juta spesies serangga telah terindentifikasi. Diperkirakan, jumlah serangga sebanyak 30-80 juta spesies yang meliputi sekitar 50% dari keanekaragaman spesies di muka bumi.
Entomologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari serangga. Istilah ini berasal dari dua perkataan Latin -ent omon bermakna serangga danl ogos bermakna ilmu pengetahuan. Entomologi selalu berkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya dan selalu berkembang. Contohnya saja entomologi dalam bidang kedokteran, dimana belakangan ini ditembukan dan di kembangkan serangga untuk pengobatan manusia. Contoh lainnya adalah entomologi dalam bidang kesehatan, dimana serangga digunakan dalam hal penyelidikan kematian manusia. Entomologi forensik menggunakan beberapa teknik dalam mengetahui aktivitas serangga pada saat kematian seseorang sehingga dapat memperkirakan saat kematian dan lokasi kematian. Entomologi juga bekerja sama dengan ilmu lain seperti kimia dan genetika.  Pemeriksaan DNA untuk mengidentifikasi DNA jaringan tubuh yang kontak atau dimakan oleh serangga digunakan dalam entomologi forensik saat ini.




1.2 Tujuan
            Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana aplikasi serangga dalam menginvestigasi suatu kejahatan dengan mengidentifikasi jenis-jenis serangga pemakan bangkai yang muncul pada korban kejahatan.




























BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Namun disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik (contohnya mayat, potongan tubuh, bangkai, dan sebagainya) (Khaizuran, 2010).
            Untuk pengertian yang lebih mudahnya, ilmu forensik adalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan, pengumpulan, dan penganalisaan bukti-bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang pengadilan.  Ada beberapa subdivisi dari ilmu forensik, diantaranya yaitu entomologi forensik (Khaizuran, 2010).
                Entomologi forensik adalah pemanfaatan serangga untuk menginvestigasi sebuah kejahatan. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah mengidentifikasi jenis-jenis serangga pemakan bangkai (disebut nekrofagus) yang muncul pada korban kejahatan. Kemampuan serangga sebagai perombak bahan organik, termasuk mayat manusia, dimanfaatkan di dalam bidang kedokteran forensik untuk mengetahui waktu kematian mayat (Postmortem Period Investigation, PMI) (Goff, 2003).
Menurut catatan sejarah, bangsa Cina sudah mulai mengembangkan teknik pemeriksaan mayat menggunakan serangga (blow fly, famili Calliphoridae, ordo Diptera) pada abad ke-12 (Benecke, 2001). Pada perkembangannya, kelompok-kelompok serangga nekrofagus yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi umur mayat berasal dari ordo Diptera, Coleoptera, Hymenoptera (terutama semut), dan beberapa Lepidoptera (Jiron & Cartin, 1981). Serangga-serangga tersebut diklaim dapat menentukan waktu kematian mayat dengan sangat pas, bahkan melebihi teknik lain (Nurul, 2010).
Penelitian Jiron dan Cartin (1981) pada bangkai anjing menjelaskan bahwa kelompok-kelompok serangga tertentu akan muncul pada tahap-tahap pembusukan bangkai. Pada tahap pertama, disebut discoloration stage (berlangsung selama kurang lebih 3-4 hari), muncul serangga semut (Camponotus sp.), lalat muscoid, lalat sarcophagid, lalat drosophilid, dan banyak lalat calliphorid (Phaenicia eximia). Pada tahap berikut, disebut emphysematic stage (berlangsung mulai hari keempat sampai ke-8). Pada tahap ini muncul serangga P. eximia dalam jumlah besar, kumbang histerid, Euspilotus aenicollis, beberapa kumbang scarabid, dan beberapa lalat muscoid. Tahap berikut disebut liquefaction yang berlangsung pada hari ke-8 sampai ke-28. Pada tahap ini serangga yang datang paling melimpah adalah dua spesies lalat calliphorid, yaitu P. eximia dan Hemilucilia segmentaria, lalat piophilid, kumbang staphylinid, histerid, Dermaptera, tawon ichneumonid, lipas, lebah (genus Trigona) dan dua famili ngengat (pyralid dan noctuid). Tahap yang terakhir adalah mummified, yang didominasi oleh kumbang dermestid (Nurul, 2010).
Meskipun demikian, teknik ini juga mempunyai kelemahan yang cukup mendasar, yaitu sangat tergantung dari keadaan cuaca, misalnya suhu, kelembaban, dan curah hujan, atau oleh perlakuan manusia, yang secara langsung akan menentukan proses dekomposisi yang menjadi dasar kehadiran serangga-serangga tersebut (Goff, 2003).
Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindahkan dari suatu lokasi ke lokasi lain. Penetuan waktu kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur serangga maupun telur yang ada pada mayat, sehingga para patologis dapat memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian mayat tersebut. Asumsi pokok bahwa mayat manusia yang masih “baru” belum dikerumuni serangga dan serangga tersebut belum berkembang dalam mayat. Dengan demikian umur serangga yang semakin tua beserta telur yang ditemukan pada mayat dapat dijadikan dasar perkiraan interval post-mortem minimum (Ksebiologiugm, 2009).
Untuk menentukan apakah suatu mayat telah dipindahkan dari lokasi pembunuhan yang sebenarnya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi serangga yang terdapat pada mayat dan dibandingkan dengan serangga serupa yang terdapat di sekitarnya. Identifikasi terutama secara molekular akan diperoleh data apakah serangga yang terdapat pada mayat berasal dari daerah tempat mayat tersebut ditemukan ataukah berasal dari tempat lain, karena pada dasarnya bahkan serangga yang sejenis dapat memiliki variasi genetik yang berbeda antara lokasi satu dengan yang lain (Ksebiologiugm, 2009).
Cabang entomologi forensik memanfaatkan pengetahuan, adanya binatang yang langsung menyerbu mayat sesaat setelah meninggal. Faktor penariknya bisa darah atau protein yang dikeluarkan mayat. Sejenis lalat misalnya, langsung bertelur pada luka terbuka atau organ tubuh terbuka lainnya, segera setelah seseorang meninggal. Lalat jenis lainnya, menunggu sampai mayat agak membusuk untuk bertelur. Larva lalat itu dengan cepat menetas menjadi belatung, dan memakan daging mayat. Dalam kondisi tertentu belatung mampu memakan habis daging dalam waktu hanya beberapa hari, misalnya jika cukup sinar matahari, cuaca hangat atau kelembaban cukup. Para ahli forensik entomologi biasanya memeriksa mayat korban pembunuhan, dengan mengambil makhluk hidup yang ada pada mayat tersebut. Belatung, lalat atau telur kumbang dikumpulkan dan dianalisis di laboratorium.  Setiap jenis binatang yang berkembang biak pada mayat, menggambarkan tahapan waktu dari mulai meninggalnya korban. Ibaratnya jam yang dapat dilacak dan diketahui, kapan titik nolnya. Dengan begitu perkiraan waktu kematian dapat ditegakkan dengan akurat, dalam kisaran ketepatan beberapa jam (Jurnal ilmu forensik entomology, 2010).
Pakar ilmu forensik entomologi dari AS, William Rodriguez mengatakan, terdapat pola khas dari pembusukan mayat. Pola khas ini jika dikaitkan dengan fase perkembangan serangga yang juga khas pada mayat, akan mampu menunjukan saat kematian. Misalnya saja lalat yang biasa berkerumun di tempat sampah, memerlukan waktu metamorfosa sekitar 500 jam untuk menjadi lalat sempurna. Itupun dalam kondisi ideal, yakni suhu rata-rata 23 derajat Celsius dan kelembaban cukup. Pada tahap awal, telur menetas menjadi larva berupa belatung yang kerjanya hanya makan. Sekitar 30 jam kemudian, belatung mamasuki tahapan kedua dan mulai menyiapkan diri untuk menjadi kepompong. Belatung tahapan kedua ini umurnya sekitar 52 jam, setelah itu memasuki tahapan ketiga, dengan kesiapan menjadi kepompong bertambah matang. Tahapan ketiga ini umurnya sekitar 85 jam. Tahapan selanjutnya belatung menjadi kepompong. Pada tahapan ini diperlukan waktu sekitar 280 jam untuk menetas menjadi lalat. Seekor lalat dewasa di sekitar mayat korban pembunuhan, dipastikan sudah berumur sekitar 500 jam. Jadi jika dalam penelitian ditemukan belatung pada fase akhir tahap ketiga misalnya, berarti korban sudah meninggal sekitar 160 jam atau sekitar seminggu. Dengan mengetahui identitas lainnya dari korban, dapat dilacak dimana seminggu lalu terakhir kali ia berada, bersama siapa atau melakukan apa (Jurnal ilmu forensik entomology, 2010).
Para pakar mengatakan, semua proses kegiatan serangga atau binatang lainnya pasti meninggalkan jejak. Misalnya cangkang kepompong dan kulit luar lainnya. Dengan meneliti sisa-sisa serangga tadi, para pakar forensik entomology masih dapat menentukan umur kerangka bersangkutan. Seperti misalnya dalam kasus penemuan sebuah kerangka di sebuah kota di AS. Berdasarkan sisa-sisa serangga di sekitar kerangka, para ahli dapat menentukan bahwa korban dibunuh dua tahun lalu. Semua data yang diungkapkan para ahli forensik, tentu saja tidak langsung membuktikan siapa pembunuhnya. Namun dari pengetahuan awal, polisi dapat melacak sampai ke jam perkiraan tewasnya korban kejahatan atau korban bunuh diri (Jurnal ilmu forensik entomology, 2010).
Ditambah dengan cabang ilmu forensik lainnya, polisi dapat mengumpulkan bukti akurat, untuk menjerat tersangka pelaku, agar tidak dapat mengelak lagi. Misalnya sebuah kasus pembunuhan seorang wanita di sebuah hutan kecil di perbatasan Jerman-Belanda belum lama ini, yang dapat diungkap dengan pertolongan ilmu forensik entomologi. Setelah diketahui kapan waktu tewasnya wanita tsb, indikasi pelaku mengarah kepada suaminya. Namun ia punya alibi kuat, dengan mengatakan pada waktu perkiraan pembunuhan ia berada di bar bersama sejumlah rekannya. Namun jejak tanah pada sepatunya, menunjukan jenis tanah dan serangga yang khas di hutan perbatasan Jerman-Belanda. Dengan bukti itu ia tidak dapat mengelak, dan dijatuhi hukuman berat. Serangga ternyata berguna membantu para ahli forensik dan polisi melacak pelaku kejahatan pembunuhan (Jurnal ilmu forensik entomology, 2010).
Menurut Gangsadar (2011), ada beberapa cara dalam mengidentifikasi mayat yaitu sebagai berikut:
·         Memastikan waktu kematian tanpa ada saksi tentu sangat sulit, paling tidak memperkirakan dengan melihat keadaan mayat. Misal kekakuan mayat, lebam pada mayat dll. Belatung dapat memberikan kontribusi untuk perkiraan waktu kematian.  Caranya yaitu dengan memeriksa alat pernafasan belatung, sebab alat pernafasan ini terus mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tentu saja yang bisa mengetahuinya adalah para ahli forensik.         
·         Belatung dapat membantu menentukan apakah lokasi ditemukannya mayat sama dengan lokasi kematian.  Caranya yaitu mencocokkan jenis belatung atau serangga lain yang ditemukan di tubuh mayat dengan tipe lalat atau serangga lain yang hidup di sekitar lokasi ditemukannya mayat.  
·         Seringkali ditemukan tubuh mayat sudah tak berbentuk, sulit dikenal atau tanpa petunjuk identitas yang jelas. Sebagai contoh, mayat yang harus digali dari kuburan untuk sebuah visum. Untuk memastikan identitas mayat tersebut, belatung sangat berperan.  Caranya yaitu karena kebisaan belatung yang mencerna jaringan tubuh mayat, maka saluran cerna belatung diperiksa melalui tes DNA untuk proses identifikasi. Selain itu belatung juga memakan cairan sperma atau cairan vagina, sehingga selain identifikasi korban belatung dapat juga digunakan untuk mencari identitas pelaku dalam kasus kekerasan seksual.      
·         Untuk yang satu ini, belatung benar-benar unjuk gigi, sebab mengungkap misteri penyebab kematian bukanlah hal yang mudah.  Caranya yaitu bagian tubuh mayat yang menjadi tempat paling favorit berkumpulnya belatung merupakan sebuah petunjuk penting. Belatung umumnya paling menyukai hidup dibagian mata, hidung, telinga, mulut. Intinya bagian berlobang dari tubuh, karena belatung suka kegelapan di lobang. 
·         Apabila belatung ditemukan di lengan misalnya, maka diidentifikasi ada luka di lengan, sebab luka yang mengeluarkan darah merupakan hal yang amat menarik dan disukai para belatung sehingga mereka berkumpul dibagian luka tersebut.  Demikian juga bila belatung ditemukan di bagian kemaluan dan anus, padahal bagian ini termasuk tempat yang tidak disukai belatung, tetapi jika ada bau-bau khusus yang menarik mereka untuk berkumpul disana (misal bau cairan sperma dan vagina) maka belatung akan banyak ditemukan didaerah ini, jadi dapat diidentifikasi bahwa sebelum kematian terjadi kekerasan seksual. 
·         Bahkan, jika ada kecurigaan keracunan pun, dapat diketahui melalui belatung yaitu belatung di ekstraksi dan dilakukan uji racun ( toksikologi).     
Mahkluk kecil ini ternyata sangat bermanfaat dalam usaha mencari kebenaran, tapi sepertinya dalam aplikasi penyelidikan di Indonesia belum terlalu dimanfaatkan.         
Gambar 1. Cara pengkoleksian serangga untuk menginvestigasi kejahatan.
 
Gambar 2. Serangga-serangga yang berpengaruh dalam entomologi forensik.
 
Gambar 3. Siklus hidup serangga
 
Gambar 4. Cara mengidentifikasi serangga di laboratorium
 
Gambar 5. Seperangkat alat yang diperlukan dalam forensik entomology

BAB III
KESIMPULAN

            Berdasarkan pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Entomologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari serangga.
2.      Ilmu forensik adalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan, pengumpulan, dan penganalisaan bukti-bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang pengadilan.
3.      Entomologi forensik adalah pemanfaatan serangga untuk menginvestigasi sebuah kejahatan.
4.      Tingkatan serangga yang terdapat di tubuh mayat berbeda-beda, sesuai dengan umur setelah kematian mayat.
5.      Siklus hidup serangga pada mayat sama dengan siklus hidup serangga pada umumnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Benecke, M. 2001. A brief history of forensic entomology. Forensic Science            International    120: 2-14.
Gangsadar. 2011. Makhluk Kecil Sipenyingkap Tabir            .http://www.gangsadar.com/2011/01/makhluk-kecil-sipenyingkap   tabir.html. Diakses      tanggal 07 November 2011.
Goff, L. 2003. Forensic Entomology. Dalam: V.H. Resh & R.T. Carde (editor),     Encyclopedia   of Insects, Academic Press, Amsterdam, halaman 919 – 926.
Jiron, L.F. and V.M. Cartin. 1981. Insect succession in the decomposition of a        mammal in      Costa Rica. Journal of the New York Entomological Society         89: 158-165.
Jurnal ilmu forensik entomology. 2010. Ilmu Forensik Entomology.           http://www.kelas            mikrokontrol.com/jurnal/iptek/bagian-1/ilmu  forensik-entomology.html. Diakses    tanggal 07 November 2011.
Khaizuran, A. 2010. Introduction of Forensic Science (Ilmu Forensik).        http://netdetective.forumotion.net/t1626-introduction-of-forensic-science         ilmu     forensik. Diakses tanggal 18 November 2011.
Ksebiologiugm. 2009. Entomologi: Bergerak Tanpa Batas.  http://ksebiologiugm.blogspot.com/2009/08/entomologi-bergerak-tanpa            batas.html.       Diakses tanggal 18 November 2011.
Nurul. 2010. Entomologi Forensik.    http://dokternurul.blogspot.com/2010/11/entomologi            forensik.html.            Diakses tanggal  07 November 2011.